Sengketa antar Pemilik Mewarnai Kasus Pengaduan ke BPPAP

Posted on

Hal itu diungkapkan Ketua Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BPPAP), Rusdy Daryono, dihadapan peserta Seminar Nasional di Jakarta, Mei lalu. Selain itu, kasus pengaduan juga diwarnai ketidakpuasan atau adanya kelemahan dalam pekerjaan auditor.

Kasus pengaduan ke BPPAP— baik dari pengadu (masyarakat pengguna jasa profesi) maupun dari anggota profesi—dikelompokan menjadi tiga kelompok. Pertama, sengketa antar pemilik dan/atau manajemen dengan melibatkan kepolisian/pengadilan. Kedua, ketidakpuasan terhadap atau diperkirakan adanya kelemahan dalam pekerjaan auditor. Dan ketiga, indikasi perbuatan yang mencemarkan profesi atau rekan.

Melihat tipe pengaduan yang masuk ke BPPAP, pelanggaran yang sering dilakukan anggota dapat menyangkut independensi (SA 220 dan AE 101); kompetensi kecermatan dan keseksamaan professional (SA 230, AE 201A dan AE 201B); perikatan untuk menerapkan prosedur yang disepakati (SA 622); laporan khusus (SA 623); IPSA No. 29.02 tanggal penerbitan 24 Agustus 1994 (SA Seksi 9508, paragraph 12 sampai 22); dan komunikasi antar Akuntan Publik (AE 402).

Dari hasil pemeriksaan BPPAP atas kasus pengaduan dan jenis pelanggaran yang dilakukan, BPPAP menyimpulkan setidaknya terdapat enam penyebab pelanggaran dilakukan dan itu terjadi oleh KAP dan AP. Yaitu, system manajemen risiko tidak diterapkan dengan baik, surat perikatan tidak memadai, kerancuan penerapan standar, kurang pemahaman dan ketidakcermatan dalam pelaksanaan tugas, tidak diterapkan praktik yang baik (sound practices) dan besaran honorarium yang minim.

Sementara terkait dengan manajemen risiko, Rusdy Daryono menambahkan bahwa anggota kurang memperhatikan risiko permasalahan klien-nya. Artinya risiko bisnis klien kurang dipahami sepenuhnya. Selain itu, masih terdapat juga AP yang kurang mempertimbangkan potensi persepsi terhadap independensi ketika melakukan penugasan audit. Namun yang agak sedikit memprihatinkan adalah masih terdapat AP yang kurang mengidentifikasikan risiko audit, karena hal ini sangat terkait dalam penentuan lingkup/penggunaan standar dan bukti audit yang terkait. Meski demikian, dalam anggota sendiri diakui masih terdapat kekurangan melakukan komunikasi dengan rekan seprofesi. Ini jelas bisa memicu munculnya risiko audit ketika anggota melakukan penugasan.

Kelemahan lain yang teridentifikasi oleh BPPAP adalah masalah surat perikatan. Surat perikatan yang dibuat dinilai kurang optimal, dimana seharusnya dalam perikatan termuat lingkup dan tanggung jawab. Karena itu dibutuhkan untuk pengamanan munculnya potensi masalah di kemudian hari. Selain itu, dalam perikatan masih terlihat tidak melibatkan semua pihak yang terkait. Seperti Komite Audit, Komisaris Independen di perusahaan yang bersangkutan.

Meski demikian, kerancuan dalam penerapan standar kadang masih terjadi. Antara audit atas laporan keuangan, audit khusus, maupun penerapan prosedur yang disepakati (agreed upon procedures). Dimana ketika menggunakan tolok ukur general atau penerapan prosedur ayang disepakati, masih banyak yang rancu. Hal ini bisa menimbulkan risiko yang amat besar bagi anggota itu sendiri.

Melihat kelemahan yang diungkapkan seperti di atas, Rusdy Daryono juga menyinggung pemahaman dan ketidakcermatan dalam menjalani penugasan yang dilakukan oleh anggota profesi. Dimana pemahaman terhadap bisnis klien dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk klien terlihat masih kurang. Begitu pula pelaksanaan audit yang tidak sesuai dengan perikatan yang dibuat. Ketidaksesuaian pelaksanaan audit dengan lingkup, standar dan rencana audit. Ketidakcermatan perumusan dan pengungkapan temuan.

Temuan audit tidak sinkron dengan bukti audit, seperti penugasan audit khusus namun dikerjakan dengan cara general. Untuk bukti/temuan audit, kadang tidak sinkron dengan kesimpulan dan tidak memadainya bukti/temuan. Begitu pula sering penyajian tidak sesuai dengan standar. Disisi lain, sistem pengendalian mutu masih lemah.

Atas dasar itu, Rusdy Daryono menekankan penarikan dan penerbitan kembali laporan. Format dan substansi surat perikatan harus mengcover kepentingan dalam memproteksi praktik jasa audit.” Substansi surat perikatan jangan dianggap remeh,” jelasnya. Untuk kertas kerja pengendalian mutu, seperti mencakup bagaimana file-file manajemen risiko yang memadai untuk memastikan bahwa penugasan, bagaimana melakukan konsultasi dan supervisi, penelaahan oleh rekan (concurring review), pedoman kerja, dan sebagainya.

Namun di lain sisi, Rusdy Daryono sangat prihatin melihat anggota yang berani menerima fee di bawah standar. Dengan fee di bawah standar jelas tidak memungkinkan anggota mengikuti pelatihan dan enyediakan sarana kerja bagi staf. Begitu pula pelaksanaan pengendalian mutu yang tidak memadai dalam melakukan supervisi dan review. Begitu pula tidak memadainya tindak lanjut bila ada masalah.

Disinilah perlu dilakukan penerapan alat manajemen risiko, konsultasi dalam kantor jika terjadi masalah, bagaimana supervisi di KAP dilakukan. “Fee harus disesuaikan dengan risiko. Kalau tidak, jika terdapat temuan baru tidak bisa melakukan tindak lanjut,” ungkap Rusdy.

Melihat berbagai kelemahan dan kekurangan tersebut, Rusdy mengharapkan ada tindak lanjut untuk melakukan penyegaran dan pelatihan mengenai SA 622 dan SA 623. Agar terjadi standarisasi dalam melakukan praktik, Rusdy juga mengharapkan IAI-KAP membuat pedoman praktik yang baik. Ini dapat dilakukan dengan cara penyusunan pedoman praktik yang dibuat bersama-sama dengan melibatkan kontribusi KAP besar. Begitu pula dilakukan panduan SPM dan disebarkan ke KAP yang belum memiliki SPM yang memadai. Meski demikian, menurut Rusdy yang perlu mendapat perhatian semua pihak dan IAI-KAP bagaimana menyikapi kekurangan dan kelemahan tersebut