Tidak dipungkiri dalam aktivitas dan operasional perusahaan menghadapi risiko diantaranya risiko integrity risk. Risiko ini merupakan kecurangan yang dilakukan manajemen atau pegawai perusahaan seperti tindakkan ilegal, atau tindakkan penyimpangan lainnya yang dapat mempengaruhi reputasi perusahaan di dunia usaha. Kecurangan tersebut juga dapat mengurangi kemampuan perusahaan dalam mempertahankan going concern-nya. Sejumlah risiko yang melekat dalam aktivitas dan operasional perusahaan mengharuskan internal kontrol melakukan tindakkan pencegahan agar kecurangan tersebut minimal tidak terjadi.
Namun dalam praktiknya melakukan tindakkan pencegahan kurang memadai, hal itu mendorong divisi internal kontrol memahami pula bagaimana cara mendeteksi secara dini terjadinya kecurangan yang timbul. Yang jelas tindakan pendeteksian tidak dapat di generalisir terhadap semua kecurangan. Setiap kecurangan memiliki karakteristik yang berbeda, untuk mendeteksi, sehingga dibutuhkan pemahaman yang baik terhadap jenis kecurangan yang mungkin timbul dalam perusahaan.
Untuk mengetahui kecurangan, petujuk awalnya biasanya ditunjukkan oleh munculnya gejala-gejala (symptoms), seperti adanya perubahan gaya hidup atau perilaku seseorang, dokumentasi yang mencurigakan, keluhan dari pelanggan atau kecurigaan dari rekan sekerja. Awalnya kecurangan semacam ini tercermin melalui timbulnya karakteristik tertentu, baik yang merupakan kondisi/keadaan lingkungan, maupun perilaku seseorang. Kecurangan yang ditandai dengan munculnya perilaku/kondisi seseorang biasa disebut Red flag (fraud indicators).
Meski begitu,munculnya Red flag tersebut belum tentu menjadi indikasi adanya kecurangan, namun Red flag ini biasanya selalu muncul di setiap kasus kecurangan yang terjadi. Pemahaman dan analisa lebih lanjut terhadap Red flag dapat membantu langkah berikutnya memperoleh bukti awal atau mendeteksi adanya kecurangan yang terjadi. Berikut ini gambaran secara garis besar pendeteksian kecurangan berdasarkan penggolongan kecurangan menurut Association of Certified Fraud Examinations (ACFE), salah satu asosiasi di USA yang menfokuskan kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan kecurangan.
Pertama, kecurangan laporan keuangan (Financial Statement Fraud). Kecurangan atas penyajian laporan keuangan umumnya dapat dideteksi melalui analisis laporan keuangan sebagai berikut. Analisa vertikal, merupakan teknik yang digunakan untuk menganalisisi hubungan antara item-item dalam laporan laba rugi, neraca, atau laporan arus kas dengan menggambarkannya dalam persentase. Contoh, adanya kenaikan persentase hutang niaga dengan total hutang dari rata-rata 28 persen menjadi 52 persen. Di lain pihak terjadi penurunan persentase biaya penjualan dengan total penjualan dari 20 persen menjadi 17 persen, mungkin dapat menjadi satu dasar adanya pemeriksaan kecurangan.
Analisa horizontal merupakan teknik untuk menganalisis persentase-persentase perubahan item laporan keuangan selama beberapa periode laporan. Contoh, adanya kenaikan penjualan sebesar 80 persen, sedangkan harga pokok mengalami kenaikan 140 persen. Dengan asumsi tidak ada perubahan lainnya dalam unsur-unsur penjualan dan pembelian, maka hal ini dapat menimbulkan sangkaan adanya pembelian fiktif, penggelapan, atau transaksi ilegal lainnya.
Analisa rasio, merupakan alat untuk mengukur hubungan antara nilai-nilai item dalam laporan keuangan. Contoh, current ratio, adanya penggelapan uang atau pencurian kas dapat menyebabkan turunnya perhitungan rasio tersebut.
Kedua, asset misappropriation (penyalahgunaan aset). Untuk mendeteksi kecurangan yang masuk kategori ini banyak variasinya. Namun, pemahaman yang tepat atas pengendalian intern yang baik dalam pos-pos tersebut akan sangat membantu dalam melaksanakan pendeteksian kecurangan. Oleh karena itu, terdapat banyak sekali teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi setiap kasus penyalagunaan aset. Setiap kecurangan dapat dideteksi melalui beberapa teknik yang berbeda.
Contohnya, untuk mendeteksi kecurangan dalam pembelian ada beberapa metode deteksi yang dapat digunakan. Metode tersebut akan sangat efektif bila digunakan secara kombinasi gabungan, setiap metode deteksi akan menunjukan anomalies/gejala penyimpangan yang dapat diinvestigasi lebih lanjut untuk menentukan ada tidaknya kecurangan. Selain itu metode tersebut, juga menunjukan kelemahan dalam pengendalian intern dan mengingat/memberi peringatan pada auditor akan adanya potensi terjadinya kecurangan di masa mendatang.
Metode-metode tersebut antara lain seperti anaytical review, statistical sampling, vendor or outsider complints, site visit—observation. Analitycal review merupakan suatu review atas berbagai akun yang mungkin menunjukan ketidakbiasaan atau kegiatan-kegiatan yang tidak diharapkan. Misalnya, adalah perbandingan antara pembelian barang persediaan dengan penjualan bersihnya yang dapat mengidentifikasikan adanya pembelian yang terlalu tinggi atau terlalu rendah bila dibandingkan dengan tingkat penjualannya. Metode analitis lainnya adalah perbandingan pembelian persediaan bahan baku dengan tahun sekarang yang mungkin mengindikasikan adanya kecurangan overbilling scheme atau kecurangan pembelian ganda.
Statistical sampling, sebagaimana persediaan, dokumen dasar pembelian dapat diuji secara sampling untuk menentukan ketidakbiasaan (irregularities), metode deteksi ini akan efektif jika ada kecurigaan terhadap satu arttributnya, misal pemasok fiktif. Vendor or outsider complaints, merupakan komplain/keluhan dari konsumen, pemasok, atau pihak lain merupakan alat deteksi yang baik yang dapat mengarahkan CFE untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Site visit—observation, merupakan observasi ke lokasi biasanya dapat mengungkapkan ada tidaknya pengendalian intern di lokasi-lokasi tersebut. Observasi terhadap bagaimana transaksi akuntansi dilaksanakan kadangkala akan memberi peringatan pada pemeriksa kecurangan akan adanya daerah-daerah yang mempunyai potensi bermasalah.
Untuk kecurangan khususnya pencurian dan penggelapan aset terdapat tiga faktor yang perlu diwaspadai. Ada satu tekanan pada seseorang seperti kebutuhan keuangan. Adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan dan menyembunyikan kecurangan yang dilakukan. Adanya cara pembenaran perilaku tersebut yang sesuai dengan tingkatan integritas pelakunya.
Sementara struktur pengendalian intern, ada tiga elemen yang perlu diperhatikan dengan baik. Seperti lingkungan pengendalian, sistem akuntansi, dan prosedur pengendalian dengan rincian control environment seperti management philosophy and style, organization structure, audit committee, communication method, internal audit function, personnel policies and procedures. Sementara accounting system seperti validity, authorization, completeness, valuation, classification, and timing. Lalu untuk control procedures antara lain, separation of duties, proper procedures for authorization, adequate dokuments and record, physical control over assets and records, independen cheks on performance.
Ketiga, corruption. Sebagian besar kecurangan ini dapat diseteksi melalui keluhan dari rekan kerja yang jujur, laporan dari rekan, atau pemasok yang tidak puas dan menyampaikan komplian ke perusahaan. Atas sangkaan terjadinya kecurangan ini kemudian dilakukan analisis terhadap tersangka atau transaksinya. Pendeteksian atas kecurangan ini dapat dilihat dari karakteristik (Red flag) si penerima maupun si pemberi. Orang atau pihak yang menerima dana korupsi ataupun penggelapan dana pada umumnya mempunyai karakteritik the big spender, the gift taker, the odd couple, the rule breaker, the complainer, the genuine need. Sedangkan orang yang melakukan pembayaran mempunyai karakteristik seperti the sleaze factor, the too succesful bidder, poor quality/higher prices, the one-person operation.
Untuk struktur internal control yang sudah ditempatkan dan berjalan dengan baik, peluang adanya kecurangan yang tak terdeteksi akan banyak berkurang. Pemeriksa kecurangan harus mengenal dan memahami dengan baik setiap elemen dalam struktur pengendalian intern agar dapat melakukan evaluasi dan mencari kelemahannya.