Dalam rangka menciptakan sistem pencatatan sumbangan kampanye yang transparan dan meminimalkan peluang politik uang, pemerintah mengusulkan agar dana kampanye Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2004 diaudit secara bertahap hingga empat kali. Dengan demikian, dana kampanye setiap calon presiden dan wapres bisa diketahui publik secara transparan pada setiap tahapan.
Namun, apakah usulan pemerintah itu-dalam hal ini Departemen Dalam Negeri-bisa masuk dalam undang-undang, belum bisa dipastikan. Sampai Sabtu (31/5) sore, fraksi-fraksi belum satu pandangan dan akan dilanjutkan pembahasannya dalam rapat panitia kerja pekan ini.
Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) dan Fraksi Reformasi termasuk yang mendukung. Sedangkan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) dan Fraksi Partai Golkar (F-PG) mengharapkan penyederhanaan. Audit cukup dilakukan satu atau dua kali.
Demikian informasi yang dihimpun Kompas dari Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum Presiden dan Wapres yang berlangsung tertutup di Hotel Horison, Jakarta, Sabtu.
Tahapan audit yang diusulkan pemerintah, pertama dilakukan tiga hari setelah penetapan calon; kedua, saat minggu tenang; ketiga adalah dua hari setelah pemungutan suara putaran pertama; dan keempat adalah setelah pemungutan suara kedua. (lihat bagan)
Rapat, yang digelar sejak Kamis hingga Sabtu petang itu, dipimpin Ketua Panitia Kerja Ferry Mursyidan Baldan. Sedangkan pemerintah diwakili Sekretaris Jenderal Depdagri Siti Nurbaya.
Siti, yang ditemui di sela-sela rapat, membenarkan usulan pemerintah tentang audit empat tahap itu. Pemerintah berharap, dengan audit yang intensif itu seluruh penggunaan sumbangan dana kampanye dalam Pemilu Presiden akan lebih terkontrol dan terpantau publik.
“Katanya, kan, masyarakat menginginkan tidak ada money politics dan ingin pencatatan keuangan yang transparan dan akuntabel,” tandasnya.
Kendala merepotkan
Namun, bagi sejumlah fraksi, usulan pemerintah justru bisa menimbulkan kendala. Ferry Mursyidan Baldan dari F-PG memandang audit empat tahap terlalu merepotkan partai.
Menurut Ferry, audit cukup dilakukan dua tahap, yaitu setelah rekening dana kampanye dibuka dan tahap kedua setelah pemungutan suara Pemilu Presiden dibuka.
F-PDIP, sebagai fraksi terbesar juga memiliki pandangan tidak jauh berbeda dengan F-PG. F-PDIP bahkan mengusulkan audit cukup dilakukan sekali, yaitu setelah pemungutan suara. “Paling banyak dua kali,” kata Firman Jaya Daeli, Sekretaris F-PDIP DPR.
Namun demikian, kemungkinan usulan tersebut bisa masuk dalam undang-undang belum tertutup. Sebab, ada sejumlah fraksi yang mendukung usul pemerintah, seperti F-KB dan F-Reformasi.
Amin Said Husni dari F-KB dan Patrialis Akbar dari Fraksi Reformasi yang ditemui terpisah, secara eksplisit mengatakan, mendukung usulan pemerintah. “Semakin banyak frekuensi audit, pencatatan sumbangan kampanye akan semakin akuntabel dan transparan. Audit empat tahap juga akan semakin meningkatkan kualitas pemilu,” ujar Amin.
Patrialis Akbar dari Fraksi Reformasi percaya, sistem audit yang lebih ketat juga akan meminimalisasi adanya kemungkinan politik uang. “Audit empat tahap akan membuat pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih hati-hati. Karena itu, Fraksi Reformasi mendukung penuh,” paparnya.
Amin dan Patrialis juga berpendapat, pencatatan empat tahap tidak akan merepotkan pasangan calon. Sebab jika setiap calon mampu membuat pelaporan keuangan rapi sejak awal, maka berapa kali pun diaudit, partai itu akan siap.
Akuntan publik akan kesulitan mengaudit neraca keuangan partai politik seusai pemungutan suara. Selain waktunya singkat, administrasi keuangan partai diduga lemah. Partai politik sendiri akan kesulitan melaporkan semua kegiatan yang punya konsekuensi untuk diaudit.
Penasihat Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Sektor Publik (IAI-KASP) Hadori Yunus mengatakan, banyak sumbangan spontan dari masyarakat yang nilainya melebihi nilai minimal Rp 5 juta yang harus dilaporkan untuk atribut, konsumsi, dan lain-lain.
“Sumbangan seperti itu tercatat atau tidak? Lalu, pemeriksaan secara nasional kan harus konsolidasi dari semua cabang, itu mungkin atau enggak? Dikhawatirkan neraca keuangan yang dilaporkan dengan aktivitas sebenarnya tidak cocok. Mungkin sangat kecil proporsi yang dilaporkan,” ujar Hadori, Senin (29/3).
Sejak awal disadari bahwa tidak mungkin melakukan audit keuangan secara penuh lalu memberi penilaian wajar. Oleh karena itu, IAI mengeluarkan ketentuan mengenai audit khusus, audit kepatuhan pada peraturan. “Kalau pakai audit standar tidak mungkin tercapai. Kalau tidak tercapai, kemungkinan kami menyatakan tidak memberi pendapat,” ujarnya.
Menyatakan laporan keuangan tidak wajar suatu partai bisa berakibat negatif dan bisa dimanfaatkan lawan-lawan politiknya. Akan tetapi, kalau tidak memberi pendapat, auditor harus menyatakan ketidakwajaran. “Bukan rahasia lagi, ada yang sumbangan yang melebihi ketentuan undang-undang, tapi tak bisa dibuktikan secara hukum. Akuntan tak bisa menyatakan ini sah atau tidak jika tidak ada buktinya,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein mengatakan, belum mengetahui ada tidaknya dana kampanye yang berasal dari hasil pidana pencucian uang. Memang ada potensi penggunaan dana hasil pencucian uang dalam kampanye pemilu. Potensinya terutama pada rekening di luar rekening resmi partai yang tidak diawasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selama ini PPATK mengandalkan laporan transaksi mencurigakan dari perbankan dan penyelenggara jasa keuangan nonbank untuk menganalisis pencucian uang. Namun, Yunus menegaskan, PPATK bisa dituduh melanggar hukum jika mengusut kemungkinan pencucian uang dalam kampanye, tanpa ada kerja sama lebih dulu dengan KPU